Kisah dari Masa yang Terlupakan

Genre: Romansa Fantasi, Time Travel, Kerajaan
Setting: Masa depan (tahun 2045) dan masa lalu (Kerajaan Kutai Kartanegara fiktif, abad ke-13)


BAB 1 – Eksperimen Terlarang

Di tahun 2045, di bawah gedung pusat riset milik Negara Nusantara Baru, sebuah laboratorium rahasia berdetak pelan—bukan karena suara mesin, tapi detak jantung orang-orang yang mempertaruhkan hidup mereka di dalamnya.

Raka Wiranegara menatap layar holografik di depannya. Angka-angka berlari cepat, rumus-rumus kuantum menghiasi udara seperti cahaya yang menari. Wajahnya pucat, rambutnya sedikit berantakan, dan tangan kirinya masih gemetar.

“Apa kau yakin ingin melakukannya malam ini?” tanya Devi, rekan kerjanya, dengan suara menahan cemas. “Sistemnya belum stabil. Kalau terjadi lonjakan—”

“Kalau kita tunggu stabil, kita bakal kehilangan momentum partikel waktu itu,” potong Raka sambil menyalakan modul temporal. “Aku harus mencobanya. Sekarang atau tidak sama sekali.”

Ruangan hening. Hanya suara mesin pendingin dan denyut magnetik dari generator waktu yang terdengar. Raka berdiri di tengah lingkaran logam yang menyala biru. Ia menyesuaikan helm kecil di kepalanya—alat untuk membaca ingatan saat tubuhnya berinteraksi dengan waktu.

“Koordinat: Mahakam, -0.4871, 117.1558. Tahun:… coba 1299 Masehi,” gumamnya.

“Raka—” suara Devi tertahan ketika sebuah kilatan cahaya putih membungkus tubuh Raka.

Ledakan kecil. Lalu sunyi. Lingkaran itu kosong.

“RAKA!!!”


BAB 2 – Terlempar ke Zaman yang Asing

Tubuh Raka terhentak keras ke tanah. Daun-daun kering dan bau tanah basah menyergap indra penciumannya. Kepalanya berdengung, tubuhnya berat seolah ditarik paksa oleh gravitasi yang berbeda.

Matanya perlahan terbuka. Di atasnya, langit membentang tanpa gedung pencakar, tanpa cahaya lampu kota—hanya biru cerah dan suara burung yang tak dikenalnya. Ia terduduk, memegang helm yang retak sebagian.

"Dimana... ini?"

Sekelilingnya adalah hutan lebat. Pepohonan menjulang tinggi, dan suara arus sungai terdengar tak jauh. Ia berjalan pelan, tubuhnya limbung. Bajunya yang serba hitam dan peralatan teknologinya tampak begitu asing di antara alam liar itu.

Langkahnya terhenti saat ia mendengar teriakan.

“Jangan biarkan dia kabur!” suara itu berat dan menggunakan bahasa Indonesia kuno, namun Raka cukup paham berkat pelatihannya dalam linguistik sejarah.

Dari balik semak, lima orang prajurit bersenjatakan tombak dan tameng mengejar seorang lelaki yang berpakaian compang-camping. Lelaki itu tertangkap, dibanting ke tanah.

“Siapa itu?” gumam Raka.

Salah satu prajurit menoleh, matanya langsung tertuju pada Raka yang berdiri kikuk. Mereka saling bertatapan.

“Siapa kau?! Keluar dari hutan tanpa izin?!”

Raka tak menjawab. Instingnya menyuruh lari.

Tapi tubuhnya tak secepat pikirannya. Dalam hitungan detik, dua prajurit mendekat dan menyudutkannya.

“Dia berpakaian aneh! Mungkin mata-mata kerajaan lawan!” teriak salah satu dari mereka.

“Bawa dia ke istana. Biar Raja yang memutuskan.”

Dengan tangan diikat dan pikiran kacau, Raka dibawa menelusuri jalan setapak. Tak jauh di depan, muncul dinding kayu tinggi yang menjulang—sebuah benteng kerajaan berdiri megah, bendera kuning-hitam berkibar di atasnya.

“Selamat datang di Kerajaan Kutai Kartanegara,” ucap prajurit itu.

Raka hanya bisa membatin: Aku benar-benar kembali ke masa lalu...

BAB 3 – Pertemuan dengan Sang Putri

Lorong-lorong istana Kutai Kartanegara terbuat dari kayu ulin yang kokoh, berkilau ditimpa cahaya obor. Raka digiring melewati penjaga-penjaga bersenjata, tatapan mereka menusuk tajam. Ia berusaha menenangkan dirinya, meski jantungnya seperti ingin melompat dari dada.

Ia dibawa ke sebuah ruangan besar dengan tiang-tiang ukiran naga dan burung enggang. Di ujung ruangan, duduk seorang pria tua berjubah emas, dikelilingi bangsawan dan prajurit. Raja Kutai Kartanegara.

Namun bukan Raja itu yang mencuri perhatian Raka.

Di samping sang raja, berdiri seorang perempuan muda. Anggun, berkulit cokelat cerah, rambut panjangnya dihiasi bunga kemboja putih. Matanya tajam, namun ada kelembutan yang membungkus sorotnya. Ia tidak tersenyum, tapi sorot matanya… membuat waktu terasa berhenti.

“Siapa kau?” tanya sang Raja, suaranya berat dan penuh wibawa.

“Saya… Raka. Seorang pengelana,” jawab Raka pelan, mencoba beradaptasi dengan bahasa mereka.

“Pakaianmu aneh. Senjatamu tak kami kenali. Dari mana asalmu sebenarnya?” tanya patih yang berdiri di sisi kanan raja.

Raka diam. Ia tak mungkin berkata bahwa dirinya dari masa depan.

Sang putri melangkah maju. “Ayahanda, izinkan aku yang berbicara dengannya secara pribadi,” katanya lembut namun tegas.

Raja menatap putrinya, lalu mengangguk. “Baik. Tapi dia tetap akan dijaga.”

Ruangan itu perlahan kosong. Tinggallah Raka, dua penjaga, dan sang putri.

“Kau tak seperti orang sini,” katanya, duduk di hadapannya. “Kau bukan dari kerajaan mana pun yang pernah aku pelajari.”

Raka menunduk. “Saya bukan dari dunia yang sama… tapi entah kenapa, saya merasa saya harus bertemu denganmu.”

Putri itu terdiam. Lalu tersenyum kecil untuk pertama kalinya. “Namaku Langkisuma. Putri mahkota kerajaan ini. Kau aneh… tapi entah kenapa, aku tidak merasa takut.”

Raka membalas tatapannya. Untuk sesaat, dunia terasa lebih sunyi. Seolah waktu berhenti mengalir di sekitar mereka.

Dan mungkin, itulah awal dari sesuatu yang tak pernah direncanakan oleh takdir.



BAB 4 – Rahasia dari Masa Depan

Malam hari di istana Kutai Kartanegara begitu tenang, hanya terdengar suara jangkrik dan desir angin yang menyelinap di antara tiang-tiang kayu. Di salah satu paviliun kecil yang disediakan untuk tamu asing, Raka duduk termenung menatap langit.

Pikirannya berputar cepat—tentang mesin waktu, Devi yang mungkin panik mencarinya di masa depan, dan tentu saja… tentang Putri Langkisuma.

Pintu kayu berderit pelan. Putri Langkisuma masuk tanpa pengawal, mengenakan kain sederhana tanpa perhiasan kerajaan.

“Aku bilang pada pengawal, aku ingin melihat bintang,” katanya pelan.

“Dan mereka percaya?” tanya Raka, sedikit tersenyum.

“Aku sering melakukannya sejak kecil. Tapi kali ini... aku ingin tahu tentang bintang yang membawamu ke sini.”

Langkisuma duduk di samping Raka, hanya dipisahkan oleh sebuah meja kecil dari rotan. Suasana hening sejenak.

“Aku datang dari masa depan,” ucap Raka akhirnya. “Tahun 2045. Aku seorang peneliti waktu.”

Langkisuma menoleh, tak langsung kaget, hanya mengerutkan kening.

“Waktu itu bisa… dilintasi?”

“Dengan teknologi yang sangat rumit, iya. Tapi eksperimennya belum sempurna. Aku... terlempar ke sini secara tidak sengaja.”

Langkisuma menatap langit. “Berarti… suatu hari nanti semua ini akan menjadi cerita dalam kitab sejarah?”

“Ya. Tapi sejarah bisa berubah. Bahkan kehadiranku di sini mungkin sudah mengubahnya.”

Langkisuma memandangnya dalam. “Kalau begitu... kenapa kamu masih di sini? Kenapa belum mencoba kembali ke masa depan?”

Raka terdiam. Lalu ia berkata, “Karena... aku merasa ada alasan kenapa aku harus datang ke masa ini. Dan mungkin… alasannya adalah kau.”

Putri Langkisuma memalingkan wajah, tapi rona merah di pipinya tak bisa disembunyikan.

“Besok pagi,” katanya pelan, “ikutlah denganku. Aku ingin menunjukkan tempat yang hanya diketahui keluarga kerajaan.”

Raka mengangguk. Ia belum tahu apa yang akan ia temukan. Tapi satu hal pasti: hatinya, yang dingin oleh logika ilmiah, kini perlahan mulai terbakar oleh sesuatu yang lebih hangat.

Sesuatu yang bernama cinta.


BAB 5 – Rahasia Hutan Keramat

Keesokan paginya, mentari belum tinggi saat Putri Langkisuma mengetuk pintu kamar Raka. Kali ini ia datang mengenakan pakaian pemburu: kain gelap yang ringan, rambutnya diikat sederhana, dan sebilah keris kecil terselip di pinggang.

“Kau siap?” tanyanya sambil tersenyum.

Raka mengangguk, menyelipkan alat pemindai kecil dari sisa-sisa teknologinya ke dalam tas kanvas lusuh yang ia bawa. Mereka menyelinap melewati pelataran istana, keluar dari gerbang belakang, lalu masuk ke hutan yang rimbun.

“Tempat ini disebut Hutan Belian,” jelas Langkisuma sambil menuntun jalan. “Di dalamnya ada situs tua… bahkan lebih tua dari kerajaan ini. Ayahandaku bilang, tempat itu dulunya dijaga oleh para leluhur sebelum Kutai berdiri.”

Setelah berjalan hampir satu jam, mereka tiba di sebuah tanah terbuka, dikelilingi batu-batu besar yang ditata melingkar. Di tengahnya berdiri sebuah arca setinggi dada orang dewasa—arca seorang wanita bertangan empat, matanya kosong, namun wajahnya terlihat damai.

“Apa ini semacam kuil?” tanya Raka, mengaktifkan pemindainya secara diam-diam.

“Ini disebut Gerbang Waktu oleh para tetua. Mereka percaya, di sinilah para pelintas dunia bisa datang dan pergi,” jawab Langkisuma.

Alat Raka berbunyi pelan. Ia menatap layar kecilnya, mata terbelalak.

Sinyal temporal!

“Ini… tempat ini punya jejak partikel waktu. Sangat kuat,” gumamnya.

Langkisuma menatapnya heran. “Apa artinya?”

“Artinya... mungkin ini tempat aku bisa pulang.”

Hening. Tak ada suara selain burung dan angin yang menggesek daun. Tapi tiba-tiba, rasa hangat yang tadi menyelimuti mereka berubah menjadi dingin.

Dari semak-semak, muncul sekelompok pria berpakaian hitam, bersenjata parang dan tombak. Mereka bukan prajurit kerajaan.

“Maling ilmu leluhur!” seru salah satu dari mereka. “Kalian tak pantas menginjakkan kaki di sini!”

Langkisuma menarik Raka ke belakang. “Mereka pengikut Sekte Bayangan. Mereka menentang kerajaan sejak puluhan tahun lalu.”

“Bagus. Baru bab lima sudah ada musuh,” gerutu Raka, lalu menarik tangan Langkisuma. “Lari!”

Mereka berlari menembus hutan, napas memburu, sementara bayang-bayang dari masa lalu mulai menunjukkan taringnya.

Dan di tengah kekacauan itu… Raka tahu. Tempat ini bukan hanya kunci untuk pulang.

Tapi juga awal dari perang antara cinta dan takdir.



BAB 6 – Mata-mata Istana

Malam itu, Raka dan Putri Langkisuma berhasil lolos dari kejaran para anggota Sekte Bayangan. Mereka berlindung di sebuah gubuk tua milik penjaga hutan yang sudah lama ditinggalkan. Nafas masih berat, baju mereka kotor oleh lumpur dan dedaunan, tapi mereka selamat.

“Apa mereka selalu mengintai seperti itu?” tanya Raka, memeriksa luka kecil di lengannya.

Langkisuma mengangguk. “Mereka benci kerajaan. Katanya, keluarga kami telah mencuri rahasia leluhur. Tapi selama ini mereka hanya bergerak di bayang-bayang. Hari ini… mereka menyerang langsung.”

“Karena aku,” gumam Raka. “Mereka tahu aku dari luar waktu.”

Langkisuma menatapnya. “Mungkin. Atau mungkin… ada yang membocorkan keberadaanmu.”

Raka terdiam.

Keesokan harinya, mereka kembali ke istana secara diam-diam lewat jalur belakang. Tapi suasana istana terasa berubah. Para penjaga tampak lebih waspada. Beberapa pelayan bahkan melirik Raka dengan ketakutan.

Ketika mereka sampai di balairung, Patih Ranjaya—penasehat utama Raja—sudah menunggu. Pria tua beralis tebal itu memandang Raka dengan sorot mencurigakan.

“Tuanku Raja ingin bicara. Sekarang.”

Di ruang singgasana, Raja Arwanata duduk dengan wajah serius. Di sekelilingnya para penasihat dan beberapa panglima berkumpul. Langkisuma berdiri di sisi Raka, berusaha tetap tenang.

“Raka,” suara Raja berat, “semalam kami mendapat kabar bahwa seseorang telah membocorkan rahasia tentang kedatanganmu. Dan lebih dari itu… bahwa kau telah membawa sang putri ke situs terlarang.”

“Aku—” Raka ingin membela diri, tapi Raja mengangkat tangan.

“Kami tidak menyalahkanmu. Tapi seseorang di dalam istana ini… adalah mata-mata Sekte Bayangan.”

Hening. Semua saling memandang, saling curiga.

“Kami butuh bantuannya, Raka. Kau bilang datang dari masa depan. Gunakan apa pun yang kau tahu. Temukan penghianat itu.”

Langkisuma menatap Raka, wajahnya tegas. “Aku akan membantumu.”

Dan saat itu Raka menyadari, cinta dalam legenda bukan hanya soal dua hati yang saling terikat, tapi juga soal keberanian melawan pengkhianatan bersama.

Karena di dalam istana, bayangan sudah mulai menyusup ke cahaya.




BAB 7 – Jejak dalam Gelap

Malam hari, Raka duduk di ruangan kecil yang disediakan di dalam istana. Di hadapannya, alat pemindai temporal yang ia modifikasi menjadi detektor energi manusia—ia menggabungkan logika ilmiah dengan sedikit intuisi lokal yang ia pelajari dari Langkisuma: bahwa niat jahat, jika kuat, bisa meninggalkan "jejak".

Langkisuma masuk pelan-pelan membawa dua cangkir air rebusan rempah.

“Aku menanyai pelayan-pelayan lama secara diam-diam. Satu nama sering disebut: Senapati Rudra,” ucapnya lirih.

“Panglima penjaga barat?” tanya Raka sambil menyalakan alatnya.

“Dia memang setia… tapi terlalu ambisius. Dan beberapa tahun lalu, adiknya dihukum mati karena terlibat dalam penggalian situs leluhur tanpa izin kerajaan.”

“Dendam,” gumam Raka. “Mungkin ini bukan hanya soal kerajaan. Tapi soal membalas masa lalu.”

Malam itu, mereka menyusun rencana. Langkisuma akan memancing Rudra ke tempat sepi, pura-pura mengajaknya patroli malam. Raka akan mengikuti dari jarak jauh dengan alat pemindainya menyala.


---

Di luar dinding istana, cahaya obor menyala di sepanjang jalur ronda. Langkisuma berjalan bersama Rudra menuju gudang senjata tua di belakang kompleks pelatihan.

“Putri, mengapa kita harus memeriksa tempat ini malam-malam?” tanya Rudra, alisnya curiga.

“Ayahanda memintaku. Hanya untuk memastikan semua dalam kondisi baik,” jawab Langkisuma sambil tersenyum tipis.

Di balik bayangan, Raka mengikuti dari jauh. Alatnya mulai berbunyi—frekuensi niat agresif terdeteksi. Raka menahan napas.

Tiba-tiba, Rudra berhenti. Ia menoleh pada Langkisuma.

“Tuanku Putri… mengapa membawa tamu asing ke situs terlarang? Apakah kau tidak tahu bahwa darah leluhur bisa bangkit dan menghukum?”

Langkisuma mundur setapak, pura-pura bingung.

“Rudra—”

“Aku ingin kerajaan ini runtuh,” bisik Rudra tajam. “Karena istana ini dibangun dari pengkhianatan terhadap tanah ini.”

Dari balik bayangan, Raka muncul cepat, mengarahkan senjata kecil miliknya—bukan pistol, tapi alat pelumpuh gelombang frekuensi tinggi.

“Selesai sudah, Rudra.”

Gelombang menghantam Rudra dalam sekejap. Tubuh besar itu ambruk.


---

Keesokan harinya, Raja Arwanata memandang Raka dan Langkisuma dengan campuran syukur dan heran.

“Kalian menyelamatkan istana. Tapi ini baru awal.”

Dan Raka tahu… dia belum bisa pulang. Karena masa lalu ini bukan hanya tempat yang harus ia tinggalkan—tapi rumah yang mulai ia lindungi.


BAB 8 – Darah dan Janji

Langit pagi itu diselimuti mendung tipis. Hujan belum turun, tapi hawa terasa berat—seolah alam pun menahan napas. Setelah pengkhianatan Rudra terungkap, seluruh istana dikepung kecemasan. Sekte Bayangan telah menyusup begitu dalam. Siapa tahu berapa banyak pengikut mereka yang masih bersembunyi?

Di sisi lain, Raja Arwanata mengumpulkan seluruh bangsawan dan panglima dalam sidang terbatas. Raka diundang sebagai “Tamu Waktu”—gelar khusus yang diberi kerajaan untuk mengakui keberadaannya.

“Kami menyadari, perang bukan hanya kemungkinan. Tapi takdir yang mendekat,” ujar Raja Arwanata lantang. “Dan karenanya, mulai hari ini, sang Tamu Waktu akan menjadi penasihat istimewa.”

Raka berdiri di hadapan para bangsawan. Walau asing bagi mereka, matanya menunjukkan kesungguhan.

“Aku bukan dari masa ini. Tapi aku tahu satu hal yang tak berubah sepanjang sejarah: cinta pada tanah, pada rakyat, dan pada seseorang… bisa menjadi alasan seseorang bertarung sampai akhir.”

Tatapannya tak sengaja beradu dengan Langkisuma yang berdiri di sisi kanan sang raja. Ada getar lembut di matanya—dan Raka menyadari, hatinya sudah terikat lebih kuat dari yang ia kira.


---

Malam harinya, Raka duduk di taman belakang istana bersama Langkisuma. Lampion gantung bergoyang lembut ditiup angin malam.

“Kau tahu,” ucap Langkisuma, “di antara semua pangeran yang pernah datang melamarku… tak ada yang seaneh kamu.”

Raka tertawa pelan. “Itu… bukan pujian, ya?”

“Tapi mungkin… itu yang membuatku mulai percaya. Bahwa takdir bisa datang dari waktu yang jauh.”

Raka terdiam, lalu berkata, “Kalau saatnya tiba… dan aku bisa kembali ke masa depan, apa kau ingin ikut?”

Langkisuma menatapnya dalam. “Aku anak tanah ini. Tapi untukmu… aku bisa berjalan ke ujung waktu.”

Raka menggenggam tangannya. “Maka janji, kalau perang itu datang… kita bertarung bersama. Dan setelah itu—kita pilih sendiri waktu kita.”

Langkisuma tersenyum. “Janji.”

Dan di bawah langit masa lalu, dua jiwa dari zaman berbeda saling mengikat janji yang tak bisa dicatat dalam sejarah… hanya dalam hati.



BAB 9 – Nyala dari Timur

Fajar belum sepenuhnya merekah ketika suara genderang darurat menggema dari benteng timur. Penjaga menyalakan api tanda bahaya, dan istana pun gempar.

“Pasukan tak dikenal muncul dari arah sungai Mahakam,” lapor pengintai. “Mereka membawa bendera hitam tanpa lambang.”

Sekte Bayangan.

Raka berdiri di puncak menara pengawas, melihat barisan bayangan bergerak seperti arus sungai gelap. Langkisuma di sisinya, mengenakan baju zirah ringan dengan hiasan emas di pundak—seperti sosok dalam lukisan legenda.

“Mereka bergerak cepat,” ucap Langkisuma. “Taktik mereka mirip dengan cerita perang tua… tapi terlalu teratur. Seperti menggabungkan masa lalu dan masa depan.”

Raka menyipitkan mata. Ia tahu: seseorang dari Sekte Bayangan telah menemukan serpihan teknologi dari waktu miliknya—entah bagaimana. Ini bukan hanya perang antar keyakinan. Ini sudah menjadi perang lintas zaman.


---

Rapat perang diadakan di Balairung Agung.

“Pasukan kita unggul jumlah,” ujar Senapati Wirayudha. “Tapi jika mereka menggunakan alat dari waktu yang sama dengan Tamu Waktu, kita dalam bahaya.”

Raka maju. “Izinkan aku memimpin satuan kecil untuk menyusup ke pusat pasukan mereka. Kita lumpuhkan komando mereka dari dalam, sementara pasukan kerajaan menyerang dari dua sisi.”

Raja Arwanata menatapnya serius. “Kau yakin?”

“Aku harus. Mungkin hanya aku yang bisa memahami cara berpikir mereka.”

Langkisuma berdiri. “Aku ikut.”

Raja mengangguk pelan. “Maka, jadilah kalian cahaya dari timur… untuk melawan gelap yang datang.”


---

Malam itu, sebelum keberangkatan, Langkisuma dan Raka berdiri di depan candi kecil di halaman dalam istana. Tempat berdoa, sekaligus tempat menulis harapan.

Langkisuma menaruh bunga kecil di atas batu.

“Jika kita tak kembali,” ucapnya, “setidaknya biarlah jejak cinta ini tercatat di tanah leluhur.”

Raka menggenggam tangannya.

“Kita akan kembali. Karena kita belum memilih waktunya.”

Dengan nyala obor dan janji tak tergoyahkan, dua hati melangkah ke medan gelap, membawa terang dari masa depan dan masa lalu yang berpadu.



BAB 10 – Menembus Bayangan

Hutan di perbatasan timur tampak seperti labirin bayangan. Kabut tipis menggantung di antara pohon-pohon tinggi, dan suara burung malam digantikan derap sepatu ringan pasukan kecil yang dipimpin Raka dan Langkisuma.

Mereka menyelinap ke arah pusat kamp Sekte Bayangan dengan taktik gerilya. Raka, dengan alat pemindai kecilnya yang sudah dimodifikasi ulang, memandu mereka menghindari perangkap dan jalur patroli.

“Pusat mereka ada di dalam gua,” bisik salah satu pengintai. “Ada alat logam yang menara di tengah… bukan buatan zaman kita.”

Langkisuma menatap Raka. “Teknologimu?”

Raka mengangguk. “Tapi sudah diputarbalikkan. Mereka menciptakan ruang sinyal terisolasi—bisa mengacaukan waktu dan pikiran kalau diaktifkan penuh.”

Mereka melanjutkan perjalanan. Begitu mendekati gua, suara denting besi dan nyanyian dalam bahasa tua terdengar—ritual sekte telah dimulai.

Di dalam gua, pemimpin sekte berdiri di atas panggung batu. Sosok bertudung hitam itu menoleh saat mendengar langkah kaki.

“Kau akhirnya datang, Penjelajah,” ujarnya—dan suara itu terdengar familiar.

Raka menyipitkan mata. “Kau…”

Sosok itu membuka tudungnya. Seorang pria tua—wajahnya mirip guru pertama Raka di pusat riset waktu, Profesor Aryasa. Tapi ada bekas luka panjang di pipi, dan sorot matanya dingin.

“Aku dari masa depanmu. Masa yang hancur oleh waktu yang tidak seimbang,” ucapnya. “Aku datang ke masa lalu… untuk membetulkan sejarah.”

“Dengan menghancurkan kerajaan?” Raka membalas.

“Dengan menghapus kekuasaan yang memicu kehancuran di masa depan,” katanya tegas.

Langkisuma melangkah maju, pedangnya terhunus. “Kau tak berhak menulis sejarah kami dengan darah!”

Raka menyalakan alat disruptor waktu di tangannya. “Mungkin kita dari waktu yang sama. Tapi kita memilih jalan berbeda.”

Pertempuran pecah. Ledakan kecil mengguncang gua saat Langkisuma melompat, menebas pengikut sekte. Raka memusatkan daya disruptor ke menara logam—dan dalam satu tembakan, jaringan sinyal sekte runtuh.

Sang pemimpin sekte berteriak—dan dalam cahaya menyilaukan, tubuhnya terhapus oleh waktu itu sendiri. Gua berguncang, dan langit seolah pecah.

Namun di tengah kehancuran, tangan Langkisuma menggenggam erat tangan Raka. Mereka berlari keluar bersama—dan di belakang mereka, pusat kekuatan Sekte Bayangan runtuh dalam cahaya putih keperakan.


---

Mereka selamat. Sekte Bayangan musnah.

Namun kemenangan ini membawa konsekuensi baru: waktu mulai bergetar—dan alat Raka mendeteksi celah yang terbuka, celah yang bisa membawanya kembali ke masa depan.

Tapi... haruskah ia pulang?




BAB 11 – Dua Waktu, Satu Pilihan

Angin pagi berembus pelan di tepi Sungai Mahakam. Setelah kemenangan atas Sekte Bayangan, kerajaan kembali tenang. Rakyat merayakan, genderang ditabuh, dan nama Raka diucapkan dengan hormat di antara doa dan puji-pujian.

Namun, di pelataran candi tua tempat celah waktu terbuka, Raka berdiri sendiri. Alat pemindai waktu di tangannya bersinar biru muda—cahaya yang menandakan pintu menuju masa depan telah stabil. Kesempatan pulang kini nyata di hadapannya.

Langkisuma datang menghampiri. Rambutnya dikepang longgar, masih mengenakan pakaian perang ringan. Wajahnya tenang, tapi matanya menyimpan ribuan tanya.

“Jadi… saatnya kau pergi?” suaranya hampir berbisik.

Raka menatapnya. “Ini mungkin satu-satunya celah. Kalau aku tak masuk sekarang, aku mungkin akan terjebak di sini selamanya.”

Langkisuma menunduk pelan. “Apa itu buruk bagimu?”

Raka tak segera menjawab. Ia berjalan mendekat, menggenggam tangan Langkisuma.

“Dulu aku datang ke masa ini karena kecelakaan… tapi bertemu kamu bukanlah kesalahan. Kamu alasan kenapa aku ragu untuk kembali.”

Langkisuma tersenyum getir. “Tapi dunia tempatmu berasal… menunggumu, kan?”

“Tidak ada yang menungguku di sana,” jawab Raka lirih. “Tidak ada kerajaan, tidak ada cinta. Hanya ingatan dan layar-layar digital. Sementara di sini… aku punya sejarah yang ingin kujaga.”

Langkisuma terdiam, dan angin membawa wangi bunga hutan di antara mereka.

“Lalu pilihlah,” katanya. “Aku tak akan memintamu tinggal. Tapi aku juga tak akan menahanmu pergi.”

Raka menatap celah waktu yang berputar pelan seperti pusaran cahaya.

Lalu… ia mematikan alat pemindainya.

Cahaya itu meredup. Celah itu menutup perlahan, menghilang seperti embun di pagi hari.

Langkisuma menatapnya, matanya berkaca-kaca. “Kau yakin?”

Raka menarik napas dalam. “Masa depanku… ternyata di sini.”

Dan saat matahari muncul dari timur, dua waktu menyatu dalam satu pilihan: cinta, keberanian, dan harapan yang tak lagi ditentukan oleh jam digital… melainkan oleh detak jantung dua manusia.


BAB 12 – Penjaga Waktu Kerajaan

Tiga bulan telah berlalu sejak celah waktu tertutup. Di Kerajaan Kutai Kartanegara, nama Raka kini disandingkan dalam kitab sejarah sebagai "Tamu Langit, Penjaga Waktu."

Namun, Raka tidak ingin menjadi bangsawan atau panglima. Ia memilih tinggal di sebuah rumah sederhana dekat taman kerajaan, tak jauh dari perpustakaan utama—tempat ia mulai mengajar para pemuda tentang bintang, arsitektur, dan teknik sederhana. Ilmu masa depannya ia ubah jadi pengetahuan rakyat.

Langkisuma sering mengunjunginya, kadang membantu mengajar, kadang diam-diam hanya duduk menatapnya dari pojok ruangan, tersenyum saat melihat Raka tenggelam dalam penjelasan.

“Kalau begini terus,” ucap Langkisuma suatu sore, “kau akan mengubah wajah kerajaan dalam sepuluh tahun.”

“Kalau begitu, kuharap wajahnya indah seperti wajahmu,” jawab Raka sambil terkekeh.

Langkisuma pura-pura menahan tawa, lalu menjentik kening Raka.


---

Suatu malam, Raja Arwanata memanggil mereka berdua ke Balairung Istana.

“Aku akan turun tahta dalam waktu dekat,” katanya. “Dan kutahu siapa yang pantas meneruskan takhta.”

Raka menegakkan tubuhnya. “Bukan aku, Paduka. Aku bukan darah kerajaan.”

“Benar,” jawab sang Raja. “Tapi Langkisuma adalah pewaris tunggal. Dan jika ia memilihmu… maka kau akan menjadi raja di sisinya.”

Langkisuma menatap ayahandanya, lalu menoleh ke arah Raka. Tak ada kebimbangan.

“Aku tak ingin memerintah kerajaan tanpa dia,” katanya mantap.

Raka memejamkan mata sejenak. Lalu tersenyum. “Kalau begitu… aku akan menjadi bagian dari kerajaan ini. Bukan karena mahkota, tapi karena hatiku telah memilih tempatnya.”


---

Pernikahan besar diselenggarakan. Rakyat bersorak, genderang dipukul dari pesisir hingga perbukitan. Cahaya lampion memenuhi malam, dan dua hati menyatu dalam perayaan lintas waktu.

Langkisuma dan Raka, sang Penjelajah, menjadi simbol cinta yang tak tunduk pada masa—cinta yang memilih untuk tinggal dan membangun.

Dan jauh di ruang tersembunyi istana, alat pemindai waktu disimpan dalam kotak besi, terkunci oleh simbol kerajaan dan kata-kata yang diukir Raka sendiri:

"Masa lalu adalah rumah, masa depan adalah jendela—dan kita adalah penjaga cahayanya."



BAB 13 – Gerbang Kedua

Suasana kerajaan yang damai tak bertahan selamanya. Suatu malam, saat Raka sedang memeriksa bintang-bintang dari menara langit, ia menemukan pola aneh dalam langit: bintang-bintang tertentu bergerak tidak sesuai orbit.

Ia membuka kembali kotak penyimpanan alat pemindai waktu. Meskipun telah ia kunci, alat itu tetap aktif secara samar. Dan kini, ia menunjukkan sesuatu yang tak ia duga: terbentuknya celah waktu kedua, bukan di langit... tapi di bawah tanah kerajaan.

Raka segera memberitahu Langkisuma. Mereka turun ke ruang rahasia di bawah istana, yang dulu adalah ruang pemujaan leluhur pertama kerajaan. Di sanalah celah kedua terbentuk, berwarna merah tua, berbeda dengan yang pertama.

“Ini bukan celah alami,” gumam Raka. “Ini... buatan.”

Langkisuma menggenggam pedangnya. “Apa bisa Sekte Bayangan belum benar-benar musnah?”

Muncul suara berat dari balik pilar:
“Kau benar, Putri.”

Seorang wanita bertudung muncul—dengan lambang Sekte Bayangan terbakar di jubahnya.

“Aku Saelvara. Aku dari masa mendatang… jauh setelah kehancuran masa depanmu, Raka.”

Raka melangkah maju. “Apa tujuanmu membuka celah kedua ini?”

“Mengambil kembali Penjelajah yang telah mencemari waktu kami,” ucapnya dingin. “Dan mengakhiri benih cinta yang merusak arus sejarah.”

Langkisuma mengangkat pedang. “Kau menyebut cinta sebagai kerusakan? Maka biar cinta pula yang menghancurkanmu.”


---

Pertempuran berlangsung di dalam ruang waktu itu sendiri. Setiap tebasan pedang Langkisuma menciptakan percikan merah yang menari di udara. Raka mencoba menstabilkan celah dengan kekuatan pemindai, namun Saelvara semakin kuat.

“Aku bukan hanya dari masa depan,” kata Saelvara. “Aku hasil dari sejarah yang kau ubah!”

Tiba-tiba, waktu berhenti—semuanya membeku. Raka terlempar ke ruang tak bernama: antara masa lalu dan masa depan. Di sanalah ia bertemu... dirinya sendiri, versi tua dan lelah, dengan jubah putih pudar.

“Kau akan punya pilihan terakhir nanti,” kata dirinya. “Satu nyawa harus dikorbankan untuk menutup gerbang kedua. Dan kau harus memilih…”


---

Waktu berjalan kembali. Raka terbangun di pelukan Langkisuma, tubuhnya berdarah akibat ledakan energi dari Saelvara.

Langkisuma menjerit, tapi Raka tersenyum lemah.

“Aku tahu pilihan itu akan datang…”





BAB 14 – Satu Jiwa untuk Dua Zaman

Langkisuma menahan tubuh Raka yang mulai melemah. Sementara Saelvara berdiri tak jauh, terluka namun masih kuat. Waktu di ruangan itu mulai retak—lantai bergetar, pilar-pilar runtuh satu per satu. Celah merah terus membesar, menghisap cahaya dan suara.

“Jika celah ini tidak ditutup sekarang,” bisik Raka, “seluruh masa… baik masa lalu maupun masa depan… akan lenyap.”

Langkisuma menatap matanya. “Jangan bicara soal pengorbanan. Kita akan menemukan jalan lain!”

Tapi Raka hanya tersenyum. Ia menarik keluar inti alat pemindai waktu dari dalam saku jubahnya—sebuah kristal biru yang memancarkan panas saat mendekati celah merah.

“Kalau satu jiwa harus menjadi penyeimbang…” ucapnya sambil menatap dalam mata Langkisuma, “…biarkan itu menjadi aku. Karena aku yang datang dari luar waktu.”

Langkisuma menjerit, “RAKA! Tidak!”

Namun tubuh Raka telah berdiri tegap. Dengan langkah pelan, ia berjalan menuju celah waktu. Di saat yang sama, Saelvara maju untuk menghentikannya—tapi Langkisuma menahan wanita itu, menebas pedangnya ke arah lawan, dan untuk pertama kalinya, darah Saelvara tumpah.

Raka melemparkan inti kristal ke tengah pusaran celah merah. Cahaya membesar, suara seperti teriakan seribu waktu memenuhi ruangan.

Dan kemudian—senyap.


---

Langkisuma tersungkur di lantai. Saelvara lenyap. Celah waktu telah tertutup… tapi Raka tak lagi di sisinya.

Semua kembali seperti semula, tapi tidak di hatinya.

Ia berjalan keluar dari ruang bawah tanah, pelan, tanpa kata. Malam di luar masih tenang, seolah dunia tak tahu telah kehilangan satu jiwa yang menjaga dua zaman.


---

Malam itu, Langkisuma berdiri di balkon istana, menatap bintang. Lalu ia teringat kata-kata terakhir Raka sebelum pergi:

> “Jika suatu hari kamu melihat bintang jatuh… ingatlah, itu bukan akhir. Itu aku, pulang.”




BAB 15 – Di Balik Bintang yang Jatuh

Tiga minggu berlalu sejak pengorbanan Raka.

Kerajaan Kutai Kartanegara kembali tenang, tetapi hati Langkisuma tetap diselimuti awan duka. Ia masih menjalankan tugas sebagai pewaris tahta, namun tanpa semangat. Di balik senyumnya yang lemah kepada rakyat, ada luka yang tak bisa disembuhkan oleh waktu.

Namun, pada malam ketiga puluh setelah celah ditutup, sesuatu terjadi.

Langkisuma tengah berjalan sendirian di taman istana ketika langit memerah sebentar—dan sebuah bintang jatuh melintas dengan arah yang tak biasa, tepat ke hutan belakang kerajaan, tempat dulu Raka sering mengajar anak-anak desa.

Tanpa pikir panjang, Langkisuma menaiki kudanya dan menuju ke tempat jatuhnya cahaya itu.

Di antara pepohonan yang gelap, ia menemukan kawah kecil. Dan di dalamnya... seorang pria dengan pakaian asing, terbakar sebagian, tapi hidup.

Rambutnya berantakan. Nafasnya berat. Tapi mata itu... mata yang tak mungkin ia lupakan.

“Raka…?” bisik Langkisuma, setengah tak percaya.

Pria itu membuka mata perlahan. Senyumnya menyungging lemah.

“Aku janji... aku akan pulang, bukan?”

Langkisuma berlari dan memeluknya tanpa berkata sepatah kata pun. Air matanya jatuh ke bahu Raka, yang kini kembali dari ruang di luar waktu.


---

Beberapa hari kemudian, seluruh kerajaan geger—bukan karena bencana, tetapi karena pengumuman Raja Arwanata: penobatan resmi Langkisuma sebagai ratu, dan Raka sebagai pendamping resminya.

Dan kali ini, tidak ada celah yang terbuka.

Tidak ada pengorbanan.

Hanya satu masa—satu cinta—dan satu kebahagiaan yang telah diperjuangkan melintasi zaman.


BAB 16 – Ratu dan Penjelajah

Hari itu tiba—langit biru cerah, matahari bersinar lembut di atas kerajaan Kutai Kartanegara. Alun-alun kerajaan dipenuhi rakyat dari segala penjuru, mengenakan pakaian terbaik mereka, membawa bunga dan panji-panji kerajaan. Iring-iringan musik mengalun megah, mengiringi langkah dua sosok yang berjalan berdampingan di atas karpet merah: Langkisuma dengan jubah emas kebesaran, dan Raka, mengenakan pakaian adat yang kini telah menjadi bagian dari dirinya.

Meski ia berasal dari masa depan, Raka kini telah menyatu dengan zaman ini. Ia telah memilih tinggal—bukan sebagai penjelajah waktu, tapi sebagai bagian dari sejarah yang ia cintai.

Di hadapan Raja Arwanata dan para tetua kerajaan, Langkisuma berlutut bukan untuk tunduk, tapi untuk menerima amanat tertinggi: menjadi Ratu Kutai Kartanegara.

Dan di sampingnya, Raka menggenggam tangan sang ratu saat mahkota diletakkan di kepala Langkisuma.

Sorak rakyat membahana.

Burung-burung dilepaskan ke langit.

Dan sejarah baru dimulai.


---

Malamnya, saat seluruh kerajaan berpesta di pelataran istana, Langkisuma dan Raka menyelinap ke taman tempat mereka dulu sering bertemu diam-diam. Di sana, hanya ada bintang-bintang, dan suara jangkrik di antara bunga-bunga kenanga.

“Masih ingat malam pertama kau datang?” tanya Langkisuma.

Raka tertawa pelan. “Mana bisa aku lupa. Aku dikira mata-mata.”

Langkisuma menatapnya lembut. “Kalau waktu bisa kuputar… aku tetap akan memilih mencintaimu.”

Raka membalas tatapannya. “Dan aku… akan tetap memilih datang ke masamu, meski harus mengorbankan segalanya.”

Mereka saling berpelukan. Tak ada lagi celah waktu. Tak ada lagi perpisahan. Hanya dua jiwa yang telah melalui petualangan paling besar dalam hidup: mencintai melampaui zaman.



BAB 17 – Jejak di Balik Waktu

Sejak penobatan Langkisuma dan kembalinya Raka, Kutai Kartanegara mengalami masa keemasan. Rakyat hidup makmur, perdagangan tumbuh pesat, dan hubungan antarwilayah diperkuat. Namun, ada satu hal yang hanya diketahui oleh Raka dan Langkisuma—sisa jejak waktu yang masih tersimpan jauh di bawah tanah istana.

Raka, meski memilih tinggal di masa lalu, tetap merasa bertanggung jawab atas teknologi dari masanya. Maka, suatu malam, ia dan Langkisuma kembali ke ruang bawah tanah yang dulu hampir menelan segalanya.

Di balik reruntuhan dinding batu, mereka menemukan sebuah peti logam kecil—satu-satunya peninggalan yang tersisa dari alat pemindah waktu. Tidak aktif, tidak berbahaya, tapi menyimpan data perjalanan lintas zaman.

“Apa kamu ingin menyimpannya?” tanya Langkisuma pelan.

Raka menatap peti itu dalam diam. Lalu menggeleng. “Tidak. Waktu telah memilih tempatku. Aku bukan lagi penjelajah waktu. Aku… suamimu, pendamping ratu.”

Dengan satu gerakan, Raka mengubur peti itu kembali, di bawah tanah yang kini telah menjadi bagian dari kehidupan mereka.

Saat mereka melangkah keluar, Langkisuma meraih tangan Raka.

“Kita tidak lagi hidup untuk mengubah sejarah,” katanya.

Raka mengangguk. “Tapi untuk menciptakannya.”




Langit malam bersinar lembut di atas istana. Angin membawa aroma bunga kenanga. Dan dua jiwa yang telah berjalan jauh dari waktu masing-masing, kini melangkah dalam satu arah—menuju masa depan yang mereka bangun bersama.






BAB 18 – Warisan Sang Waktu

Hari-hari yang penuh kedamaian di kerajaan Kutai Kartanegara berlalu begitu cepat, seperti aliran sungai yang tak pernah berhenti. Langkisuma, yang kini resmi menjadi Ratu, memimpin dengan bijaksana, dan Raka, meski tidak lagi menjadi penjelajah waktu, tetap setia di sisinya. Namun, kedamaian yang mereka rasakan tak membuat mereka lupa akan sejarah yang telah mereka lalui—sejarah yang masih meninggalkan jejak di dalam diri mereka.

Satu tahun setelah penobatan Langkisuma, sebuah peristiwa penting terjadi. Seorang anak muda datang ke istana, membawa sebuah surat yang sudah tua, terlipat rapat dengan segel kerajaan yang sangat asing.

Langkisuma dan Raka menerima surat itu di ruang pertemuan istana, terkejut saat membuka tulisan yang tampaknya berasal dari masa lalu yang sangat jauh.

Surat itu berbunyi:

> “Wahai keturunan yang mencari keseimbangan,
Dalam perjalanan waktu yang tak terduga,
Aku yang datang dari dunia yang terlupakan,
Menyampaikan amanat terakhir:
Warisan waktu ada pada kalian.
Jagalah agar sejarah tidak terulang,
Jangan biarkan celah itu kembali terbuka.

Dari seorang yang pernah memilih di luar waktu.”




“Siapa ini?” tanya Langkisuma, suaranya penuh keheranan.

Raka menatap surat itu lama. “Ini… surat dari diriku sendiri—dari masa depan.”

“Apa maksudnya?” tanya Langkisuma, merasakan ada sesuatu yang lebih besar dari yang mereka bayangkan.

Raka berjalan mendekat ke jendela istana, menatap langit malam. “Kita mungkin telah menutup celah waktu, tapi ada sesuatu yang lebih besar yang sedang menunggu kita. Sebuah warisan waktu yang hanya bisa kita temukan bersama. Ini bukan hanya tentang kita berdua, Langkisuma. Ini tentang menjaga keseimbangan dunia kita.”

Langkisuma bergeming. “Jadi, apa yang harus kita lakukan?”

“Seperti yang tertulis dalam surat ini…” Raka menghela napas. “Kita harus melangkah lebih jauh, mengungkap masa depan yang tak diketahui, dan memastikan agar celah waktu tidak pernah terbuka lagi. Ini adalah tugas kita sebagai pelindung sejarah.”




Pada malam itu, setelah pertemuan mereka dengan surat misterius, Langkisuma dan Raka memutuskan untuk melanjutkan perjalanan mereka, bukan hanya sebagai penguasa kerajaan, tetapi sebagai penjaga keseimbangan waktu. Mereka mengumpulkan penasihat dan ahli sejarah dari seluruh penjuru kerajaan, menggali lebih dalam tentang masa lalu yang masih tersembunyi, dan menelusuri jejak-jejak yang tertinggal di sepanjang perjalanan waktu.

Namun, semakin mereka menggali, semakin banyak pertanyaan yang muncul. Siapa yang menulis surat itu? Apa yang dimaksud dengan warisan waktu? Dan, apakah dunia mereka benar-benar bebas dari ancaman celah waktu yang bisa menghancurkan segalanya?



Langit di atas kerajaan terus berubah, bintang-bintang yang dulu tampak begitu jauh kini semakin dekat, seolah memberi mereka petunjuk di malam yang penuh misteri.



BAB 19 – Keseimbangan yang Terancam

Malam semakin larut, namun Langkisuma dan Raka tak dapat tidur. Surat misterius yang mereka terima terus menghantui mereka. Apakah benar ada ancaman lain yang tersembunyi dalam sejarah? Warisan waktu yang dimaksud bisa jadi lebih rumit dari yang mereka kira.

Di balik kedamaian kerajaan, ada sesuatu yang mulai bergerak. Sesuatu yang tidak mereka ketahui, sesuatu yang bisa membangkitkan kembali celah waktu yang pernah mereka tutup.

Langkisuma duduk di meja kerjanya, memandangi peta kerajaan yang terpampang di hadapannya. “Raka, jika surat itu benar, berarti ada yang memantau kita. Ada yang menginginkan keseimbangan ini runtuh.”

Raka berdiri di baliknya, menatap ke luar jendela. Langit malam dipenuhi dengan bintang-bintang yang mulai meredup, seolah memberi isyarat akan datangnya perubahan. “Itu mungkin benar. Tapi kita tidak tahu siapa yang ada di baliknya. Kita hanya bisa mengikuti petunjuk yang ada, dan terus menjaga kerajaan ini.”

“Apakah kita akan kembali berjuang?” tanya Langkisuma, suaranya penuh kebimbangan. “Setelah semua yang kita lalui… apakah kita harus menghadapi perang lagi?”

Raka mendekat dan menggenggam tangannya. “Kita tidak bisa melarikan diri. Jika dunia ini terancam, kita harus melawan, bersama.”

Pagi keesokan harinya, Raka membawa Langkisuma ke ruang bawah tanah istana—tempat mereka pertama kali menemukan peti logam itu. Di sana, mereka menemukan sebuah lorong tersembunyi di balik dinding batu yang telah lama tertutup. Ketika mereka berjalan lebih dalam, mereka menemukan sesuatu yang mengerikan: sebuah gerbang kuno, yang tampaknya tidak pernah ditutup sepenuhnya.

Raka menatap gerbang itu dengan hati-hati. “Ini dia… Celah waktu yang sebenarnya.”

Langkisuma merasakan gemuruh di dalam dadanya. “Tapi kenapa kita tidak menemukannya sebelumnya?”

“Karena ini bukan hanya celah biasa,” jawab Raka. “Ini adalah gerbang yang lebih kuat, yang bisa membuka ke banyak masa, tidak hanya masa lalu dan masa depan kita, tapi juga ke dunia lain yang tidak kita pahami.”

Tiba-tiba, suara berat menggema dari dalam gerbang itu. “Kalian akhirnya menemukannya.”

Langkisuma dan Raka tersentak. Dari dalam gerbang, muncul sosok yang mereka kenal dengan baik—Saelvara, wanita yang pernah menjadi musuh mereka, tetapi kini tampak lebih berbeda. Wajahnya dipenuhi dengan luka-luka yang belum sembuh, dan matanya penuh dengan amarah yang mendalam.

“Aku tak akan membiarkan kalian mengendalikan takdir ini lagi,” kata Saelvara dengan suara berat. “Celah ini adalah bagian dari dunia yang lebih besar, dan aku akan menggunakannya untuk mengembalikan keseimbangan yang telah hilang.”

Raka menatap Saelvara dengan tajam. “Keseimbangan apa yang kamu maksudkan? Ini akan menghancurkan semuanya, Saelvara!”

“Tidak,” jawab Saelvara, “ini akan memperbaiki kesalahan masa lalu. Kalian tidak mengerti, karena kalian hanya melihat dari satu sisi saja.”

Gerbang di belakang Saelvara mulai bergetar hebat. Cahaya terang memancar keluar, mengingatkan Langkisuma akan celah merah yang pernah hampir menghancurkan mereka semua.

Langkisuma menarik pedangnya, siap untuk bertarung. “Kami tidak akan membiarkanmu membuka celah itu.”

Saelvara tersenyum sinis. “Kalian bisa berjuang, tapi kalian tidak akan bisa mencegahnya. Celah ini sudah menjadi bagian dari takdir yang lebih besar. Kalian hanya bagian kecil dari gambaran yang lebih luas.”

Sebelum Langkisuma atau Raka bisa bergerak, Saelvara mengangkat tangannya. Cahaya dari gerbang itu semakin kuat, dan seketika, dunia di sekitar mereka mulai berputar, seolah melintasi waktu dan ruang, membawa mereka ke tempat yang lebih gelap dan penuh misteri.


---

Langkisuma dan Raka mendapati diri mereka di tengah hutan yang lebat, dengan langit yang dipenuhi awan gelap. Ini bukan tempat yang mereka kenal. Mereka tidak tahu apakah mereka masih berada di masa yang sama, atau telah terlempar ke dunia lain.

“Raka, apa yang terjadi?” tanya Langkisuma dengan cemas, sambil memegang erat tangan Raka.

“Kita… terjebak dalam celah waktu,” jawab Raka, suaranya penuh kebingungan. “Ini lebih buruk dari yang kita kira.”

Di kejauhan, mereka melihat sosok yang familiar—Saelvara, berdiri di atas bukit, memandang mereka dengan tatapan penuh kemenangan.

“Ini belum berakhir,” kata Saelvara, suaranya menggema di udara.

Langkisuma dan Raka saling berpandangan, tahu bahwa mereka harus bertarung sekali lagi untuk melindungi dunia mereka. Namun kali ini, mereka bukan hanya melawan seorang musuh—mereka melawan kekuatan yang lebih besar dari waktu itu sendiri.






BAB 20 – Keputusan Terakhir

Langkisuma dan Raka berdiri di tengah hutan gelap, dikelilingi oleh kabut misterius yang tampaknya berasal dari celah waktu yang terbuka. Di kejauhan, Saelvara berdiri dengan penuh keyakinan, wajahnya dipenuhi rasa kemenangan yang begitu jelas.

Raka memandang Langkisuma dengan penuh tekad. “Kita harus menghentikan ini. Jika tidak, semua yang kita cintai akan hilang.”

Langkisuma mengangguk, meskipun hatinya dipenuhi kebimbangan. “Tapi bagaimana caranya? Saelvara mengendalikan celah ini. Kita tidak tahu seberapa kuat kekuatan yang dia miliki sekarang.”

Raka meraih pedangnya, perlahan menenangkan diri. “Kita tidak bisa menyerah. Kita harus mempercayai diri kita sendiri dan satu sama lain. Ini adalah ujian terakhir—bukan hanya untuk kita, tapi untuk seluruh dunia.”

Mereka mulai berjalan mendekati Saelvara, yang berdiri di puncak bukit, dengan tangan terangkat tinggi. Cahaya dari gerbang yang menganga itu semakin terang, dan semakin banyak sosok dari berbagai zaman yang tampak muncul di belakang Saelvara, seolah-olah dia telah memanggil mereka semua dari celah waktu.

“Tidak ada yang bisa menghentikan takdir ini,” kata Saelvara, matanya penuh dengan kebencian. “Dunia ini telah dikendalikan oleh sejarah yang kalian ciptakan, tetapi sekarang, aku yang akan menciptakan dunia baru—dunia tanpa batas waktu.”

Raka dan Langkisuma menatapnya dengan penuh determinasi. “Kami tidak akan membiarkanmu menghancurkan keseimbangan,” jawab Raka. “Dunia ini memiliki takdirnya sendiri, dan kita tidak punya hak untuk merusaknya.”

Saelvara tertawa keras, suara gelak tawanya bergema di udara. “Kalian tidak mengerti. Kalian hanya mengikuti jalur yang sudah ditentukan. Tidak ada tempat untuk kebebasan di dunia yang dibatasi waktu!”

Dengan sekejap, Saelvara menggerakkan tangannya, dan gelombang energi dari celah waktu itu meluncur deras ke arah mereka. Raka dan Langkisuma terpaksa menghindar, namun energi itu begitu kuat, sampai membuat mereka terhuyung mundur.

“Jangan biarkan dia memanipulasi kita dengan kekuatan ini,” seru Langkisuma, mencoba menahan rasa takut yang mulai menjalar di dalam dirinya. “Kita harus menghancurkan gerbang itu!”

Raka mengangguk. “Langkisuma, kita harus bekerjasama. Ini adalah ujian kita—akhir dari perjalanan kita.”

Mereka berdua kemudian berdiri berdampingan, menatap gerbang yang terus menyala dengan intensitas tinggi. Raka meraih tangan Langkisuma dan bersama-sama mereka melangkah maju, seiring dengan gemuruh dunia yang berputar. Langkisuma menutup matanya, memusatkan pikirannya pada kekuatan yang telah lama ada di dalam dirinya—kekuatan yang tak hanya berasal dari dunia yang ada, tetapi dari waktu yang telah mereka lewati.

Dengan satu gerakan bersama, mereka mengarahkan energi mereka ke gerbang tersebut, berusaha mengendalikan kekuatan yang mereka miliki untuk menutupnya. Sebuah cahaya yang terang dan murni menyelimuti mereka, mengalir dari dalam hati mereka, menyatu dalam satu tujuan—untuk melindungi dunia yang mereka cintai.

Saelvara terkejut melihat bagaimana kekuatan mereka bergabung. “Kalian… kalian tidak bisa!”

Namun, Langkisuma dan Raka terus mendorong energi mereka lebih kuat, lebih fokus, sampai akhirnya, dengan ledakan cahaya yang memancar begitu terang, gerbang itu meledak.

Semuanya menjadi hening.


---

Ketika cahaya itu mereda, mereka mendapati diri mereka kembali di istana, tepat di tempat yang sama seperti semula. Dunia yang mereka kenal kembali utuh, tak ada tanda-tanda kerusakan, tak ada tanda-tanda bahwa celah waktu pernah ada.

Langkisuma dan Raka saling berpandangan, dan untuk pertama kalinya, mereka merasakan kedamaian yang tulus. Tidak ada lagi ancaman, tidak ada lagi waktu yang harus mereka kejar. Mereka telah berhasil melindungi dunia dan takdir mereka sendiri.

“Ini… ini benar-benar akhir?” tanya Langkisuma dengan suara lembut, merasakan kelegaan yang luar biasa.

“Ya,” jawab Raka dengan senyum. “Kita akhirnya bisa hidup tanpa beban.”


---

Hari-hari berlalu dengan damai di kerajaan Kutai Kartanegara. Langkisuma dan Raka memimpin dengan bijaksana, memastikan bahwa keseimbangan dunia tetap terjaga. Mereka tidak hanya membangun kerajaan, tetapi juga masa depan yang penuh harapan bagi rakyat mereka.

Dan meskipun tak ada lagi perjalanan waktu yang harus mereka lakukan, mereka tahu bahwa cinta yang mereka temukan, yang melintasi batas zaman, akan menjadi warisan mereka yang tak ternilai—sebuah cinta yang tak akan pernah terpisahkan, di dunia mana pun mereka berada.


---

Akhir.


Comments

❖ Tentang Saya ❖

Saya adalah seorang penulis yang menjelajahi berbagai dunia melalui kata-kata. Di blog ini, saya berbagi kisah-kisah fiksi yang mendalam, refleksi emosional, serta pandangan tentang teknologi dan gaya hidup.

Karya saya meliputi:

  • Bayangan Monlarc – Cerita fantasi gelap tentang Zhaervan Monlarc, yang lahir dari hubungan terlarang dan tumbuh dalam bayang-bayang masa lalu.
  • Ketika Hidup Terasa Hampa – Refleksi pribadi tentang kesedihan dan kehilangan makna dalam kehidupan.
  • Membuat Aplikasi Itu Mudah – Panduan praktis untuk pemula dalam membuat aplikasi dengan bantuan AI.
  • Kecerdasan Buatan: Revolusi Teknologi di Era Digital – Pembahasan tentang peran AI dalam transformasi digital.
  • Lima Cara Gaya Hidup Sehat – Tips sederhana untuk meningkatkan kualitas hidup sehari-hari.

Melalui tulisan-tulisan ini, saya berharap dapat menginspirasi, mengedukasi, dan menemani pembaca dalam perjalanan mereka sendiri.

📩 Hubungi saya di:
joe.eunjea@gmail.com
Terima kasih telah berkunjung dan membaca!

Popular posts from this blog

Bayangan Monlarc

social media

Verus Coin (VRSC): Panduan Lengkap dan Cara Menambangnya di PC, HP, dan STB